A. PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai penopang kemajuan suatu negara memiliki peran
sentral dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Hal ini
telah menjadi perhatian penting oleh pendiri bangsa kita yang merumuskannya dalam
naskah Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”,
kalimat singkat namun berarti ini tertulis di alinea ke 4 menjadi salah satu
tujuan bangsa Indonesia.
Pendidikan yang berasal dari kata ‘didik’ yang berarti membinan,
membimbing, serta mengarahkan dari hal yang tidak baik kepada yang baik, dari
yang tidak tau ke yang tau, dari yang pengetahuanya sempit kepada pengetahuan yang
lebih luas. Pendidikan menurut Pasal 1 No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperluakan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Kemajuan peradaban manusia telah membentuk suatu
konsep kesetaraan dalam segala bidang dan persamaan dalam mendapatkan kesempatan
dalam segala bidang baik sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang sering
disebut dengan hak azasi manusia (HAM) yaitu hak yang dimiliki manusia
semata-mata karena ia manusia. (Rhona K.M.Smith: 2008:11). Konsep ini diperjuangkan oleh para masyarakat dunia
karena dalam konsep ini tidak mengenal perbedaan-perbedaan, semuanya mempunyai
kedudukan dan kesempatan yang sama.
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang azasi yang masuk rumpun
kebudayaan pasal 13 konvensi ekonomi sosial budaya (Syahrial,2005:3) untuknya
bisa bertahan dan berkembang didalam kehidupannya. Pendidikan pada zaman dahulu
merupakan sesuatu yang sangat sulit didapatkan dan merupakan suatu yang sangat
mahal akibatnya pendidikan hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang memiliki
kekayaan dan kedudukan yang tinggi dalam masyarakt. Namun, seiring
berkembangnya waktu dan merebaknya HAM maka pemikiran itu mulai berubah dan
kini pendidikan harus dirasakan oleh semua orang tanpa melihat suku, ras,
bangsa, bahasa dan keadaan fisiknya sebagaimana dijamin dalam undang-undang
dasar negara republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 C ayat 1 dikatakan bahwa “setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi mengingkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia”. Melihat hal tersebut penyelenggaran pendidikan di Indonesia
tidak boleh diskriminatif tetapi harus memfasilitasi setiap kalangan, jangan
melihat setatus ekonomi, atau sosial, serta keadaan fisik seseorang karena ini
merupakan suatu kewajiban negara untuk menyelenggaran pendidikan yang
mencerdasakan kehidupan bangsa.
Namun pada kenyataanya pendidikan yang terselenggara masih sangat
jauh mengakomodir semua pihak baik itu masyarakat miskin, status sosial rendah
dan memiliki kekurangan fisik. Salah satu kaum yang ‘terpinggirkan’ dalam
urusan pendidikan adalah kaum disabilitas yang mereka tidak secara sempurna
keadaanya namun mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan dan
kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Menurut data KPU tahun 2014
yang dikutip dari data Pusat Data Informasi Nasional
(Pusdatin) dari Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas diperkirakan
mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia (BKKBN, 2013). (www.kpuri.org.com/)
Menurut berita pada 2010 terdapat 51 ribu penyandang disabilitas
namun hanya 13 ribu yang mengenyam pendidikan di daerah Jawa Barat saja ini
disebabkan karena kurangnya sekolah luar biasa (www.Vivanews.com/). Menurut pengakuan KPAI pada tahun 2012 yang
dikutip dari republika.com mengatakan dari 347.000 anak berkebutuhan khusus di
Indonesia baru ada 75.000 atau 20 persen yang bersekolah (www.republika.com ).
Pada 2014 menurut Sri Renani Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Pelayana
Khusus Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 400.000-an anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia hanya 45,7%
yang telah menikmati bangku sekolah. Sementara 54,3%-nya memilih untuk tidak
mengenyam bangku sekolah.( http://www.koran-o.com/)
Selain itu juga sekolah-sekolah yang telah menjadi inklusi masih
menghadapi masalah dalam penerapannya seperti berita yang dikutip dari
kompas.com pada 2014 Ada seorang guru yang mengatakan “semenjak sekolahnya
menjadi sekolah inklusi, banyak orang tua yang menarik anaknya keluar dari
sekolah. Katanya takut tertular dan memindahkannya ke sekolah lain. Padahal
sekolah luar biasa juga jarang ada di pedesaan," kata Wiwied Trisnadi,
Project Manager Save the Children dalam acara talkshow Save the Children: Equal
Rights Equal Opportunities di Menteng.(www.health.kompas.com/).
ketimpangan dunia pendidikan kita ini menjadi salah satu kajian
yang menarik ditengah-tengah masyarakt yang telah sejak dulu heterogen.
Masyarakat yang harusnya sudah terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
B. PEMBAHASAN
Menurut Undang-Undang No 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas Pasal 1 disebutkan bahwa disabilitas adalah
mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik
dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal
ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat
berdasakran kesetaraan dengan yang lainnya.
Diskriminasi menurut konvensi ILO no. 111 tahaun 1958 tentang
diskriminasi (dalam hal pekerjaan dan kesempatan) ialah setiap pembedaan,
ekslusi atau preferensi yang dibuat berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, pendapat politik, ekstraksi nasional atau asal muasal yang
memiliki dampak meniadakan atau menghambat kesetaraan oeluang atau perlakuan
dalam hal pekerjaan atau jabatan.
Didalam Undang-Undang Ratifikasi tersebut disebutkan juga bahwa diskriminasi
berdasarkan disabilitas berarti setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan
atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan
pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang
lainnya terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini mencakup
semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian akomodasi yang
beralasan.
Hal yang terjadi pada penyandang disabilitas diatas memperlihatkan
bahwa telah terjadi diskriminasi yang diberikan oleh pendidikan kita berupa
pembatasan mereka untuk merasakan pendidikan dan stigma buruk yang dibuat oleh
masyarakat pada disabilitas sehingga terdapat batasan atas pengakuannya dalam
pendidikan ini untuk mengembangkan diri dan bertahan hidup di dunia ini.
Diskriminasi yang terjadi tidak hanya berasal dari pemerintah
dengan kurangnya fasilitas sekolah yang khusus untuk penyandang disabilitas,
ketika adanya peraturan untuk sekolah inklusi pun masih menyisakan diskriminasi
dengan adanya stigma yang negatif dari orang tua terhadap murid-murid yang
menyandang disabilitas sehingga mereka merasa minder. Kurangnya pendidik juga
mempengaruhi kegitan dalam pemberian materi untuk penyandang disbailitas. Diskriminasi
penyandang disabilitas ini merupakan kesalahan yang terjadi karena stigma
antara manusia normal dan cacat telah tertanam dalam diri kita.
Menurut Dr. Mansor Fakih dikuti dari Suryaden.com
mengatakan Berbagai manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya
asumsi terhadap kaum difabel adalah sebagai berikut: Pertama, terjadi
diskriminasi ekonomi sehingga melahirkan pemiskinan ekonomi terhadap kaum
difabel. Kedua, terjadinya subordinasi terhadap mereka yang dicacatkan. Dalam
rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa sama
sekali menganggap ada penyandang cacat. Ketiga, adalah pelabelan
negatif (stereotype) terhadap kaum difabel dan akibat dari
stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Keempat,
kekerasan (violence) terhadap difabel. Kekerasan di sini
mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk
yang lebih halus seperti pelecehan, menganggap tidak mampu, penciptaan
ketergantugan, dan sebagainya. Kelima, sempitnya akses sosial dan budaya
serta fisik bagi kaum difabel ini telah menyulitkan ruang gerak kaum difabel
dan telah mengakibatkan beban kerja yang luar biasa bagi kaum difabel baik di
lingkungan domestik maupun publik.(www.Suryaden.com/)
Masyarakat yang dari zaman dahulu telah lahir didalam lingkungan
yang berbeda-beda tidak memberikan pengaruh pada masyarakat sehingga diperlukan
solusi-solusi untuk memecahkan masalah-masalah diskriminasi pendidikan kita
agar pendidikan yang merupakan hak setiap orang tercapai.
Salah satunya ialah membentuk stigma yang menyamakan setiap orang
dengan pendidikan-pendidikan dan pemahaman-pemahaman kepada masyarakat dan
generasi selanjutnya, membuat regulasi yang memperhatikan penyandang
disabilitas serta pembentukan fasilitas yang mengakomodir penyandang
disabilitas. Hal yang sama juga disampaikan oleh Dr. Mansor Fakih yaitu agenda memperjuangkan hak asasi difabel
sebagai hak asasi manusia merupakan agenda semua cendekia yang peduli pada
keadilan sosial. Beberapa usaha sosial perlu dipikirkan. Pertama, perlu mendidik kesadaran
manusia 'normal' akan hak asasi difabel kepada setiap individu di setiap rumah
tangga, samai pada kebijakan pembangunan negara melalui badan-badan pemerintah.
Kedua, gerakan untuk menciptakan kota yang ramah terhadap kaum difabel
terutama pada seluruh fasilitas publik. Ketiga, gerakan mengenai
bagaimana proses diseminasi ideologi kritis tentang kaum difabel pada setiap
program dan kebijakan kelembagaan dan keorganisasian, baik lembaga pemerintah,
pendidikan, program kemasyarakatan , maupun keagamaan, bahkan kalangan NGOs. Sehingga
tercapai tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan menjadikan Indonesia
sebagai negara yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
C. PENUTUP
Diskriminasi yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita adalah
tanda belum mencerdaskanya pendidikan Indonesia karena masih adanya
anggapan-anggapan yang membeda-bedakan keadaan seseorang seperti pada zaman
penjajahan dulu. Untuk menghilangkannya butuh proses yang sangat lama dan usaha
yang sangat tinggi untuk menghilangkan diskriminasi. Kesetaraan dalam
pendidikan perlu dengan merubah stigma negatif yang dibuat dan memberikan
fasilitas kepada penyandang disabilitas.
Daftar Pustaka
Syahrial. 2005. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X
tahun 2005. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Undang-undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945
undang-undang no 19 tahun 2011 tentang pengesahan konvensi
mengenai hak-hak penyandang disabilitas